M A K A L A H
P E R B A N D I N G A N M A Z H A B
P E R B A N D I N G A N M A Z H A B
TENTANG
F I Q I H
Dosen Pembimbing : Muh. Mutawali, Ma
OLEH
KELOMPOK II
MIRNAWATI
ETI KUSYATI
TAUFIK
BIDANG STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) SUNAN GIRI BIMA
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) SUNAN GIRI BIMA
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
KATA PENGANTAR
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Assalamu’ alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…
Alhamdulillah rabbil alamin,esegala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalh ini sebagai mana mestinya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Saw beserta keluarg dan para sahabat beliau hingga akhirul zaman.
Makalah yang bejudul “Fiqhi“ dapat kami persembahkan
untuk mendapatkan esensi dari pada apa yang menjadi makna yang terkandung
didalamnya.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna,maka dari itu saran dan kritikan yang bersifat membangun
sangat kami butuhkan dari pembaca dan sahabat- sahabt sekalian demi perbaikan
lebih lanjut.
Wallahul muwafiq ilaa aqwamothoriq
Wassalamu alaikum war.wab
Kota Bima,September 2014
Penyusun
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu
aspek terpenting dalam Islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya.
Dengan adanya hukum, manusia bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam
aktivitasnya dengan tenang dan tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum
pula manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan
dan apa sajakah pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Fiqih sebagai sebuah produk hukum tentu perlu mendapat penjelasan tentang apa
dan bagaimana Fiqih bisa menjadi sebuah ketetapan hukum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengartian Fiqhi
2.
Apa saja Ketentuan-
ketentuan dalam Fiqhi
3.
Apa perbedaan Fiqhi
dan Syariah
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqih
Menurut Bahasa Fiqih Berarti faham atau pemahaman.
Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’
yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali
tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih. Jama’nya adalah
fuqaha. Seperti Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya
panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan
kepahamannya.” (Hr. Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqih
mempunyai dua makna, yakni menurut ahli usul dan ahli fiqih. Masing-masing
memiliki pengertian dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqih.
Menurut ahli usul, Fiqih adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum shara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari
dalil-dalil yang tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul
mengartikan fiqih adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut para ahli fiqih (fuqaha), fiqih adalah mengetahui
hukum-hukum shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf),
yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan fiqih Islam ialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan
dari berbagai madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun
fuqaha makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan
lain-lain
B.
Ketentuan - Ketentuan dalam Fiqih
Dalam mempelajari fiqih, Islam telah meletakkan
patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu : Melarang membahas
peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi. Sebagaimana Firman Allah SWT
dalam QS Al-Maidah ayat 101.
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara,
karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu
menayakan itu ketika turunnya al-qur'an tentulah kamu akan diberi penjelasan.
Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi
penyayang." (Q. S. Al-Maidah: 101).
Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw.
telah melarang mempertanyakan "Aqhluthath" yakni masalah-masalah yang
belum lagi terjadi.
a.
Menjauhi banyak
tanya dan masalah-masalah pelik.
Dalam sebuah hadits di katakan:
"Sesungguhnya
Allah membenci banyak debat, banyak tanya, dan menyia-nyiakan harta."
Dan dalama hadis yang lain di katakana.
"Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan
telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengaharamkan beberapa
larangan maka jangan dilannggar, serta mendiamkan beberapa perkara bukan karena
lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit!"
b.
Menghindarkan
pertikaian dan perpecahan didalam agama.
Sebagaimana firman-firman Allah Ta'ala sebagai berikut:
"Hendaklah
kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !"
(Q. S. Ali Imran: 103).
"Dan janganlah kamu seperti halnya
orang-orang yang berpecah-belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka
menerima keterangan-keterangan! dan bagi mereka itu disediakan siksa yang dahsyat."
(Q. S. Ali Imran 105)
c.
Mengembalikan
masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah.
Berdasarkan firman Allah SWT :
"Maka jika
kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan
Rasul." (Q. S. An-Nisa 9).
"Dan
apa-apa yang kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada
Allah." (Q. S. Asy- Syuro: 10).
Hal demikian itu, karena soal-soal keagamaan telah
diterangkan oleh Al-qur'an, sebagaimana firman Allah SWT :
"Dan kami
turunkan Kitab Suci Al-qur'an untuk menerangkan segala sesuatu." (QS.
An-Nahl 89).
Begitu juga dalam surah: Al-An'am 38, An-Nahl 44 dan
An-Nisa 105, Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur'an terhadap berbagai
masalah kehidupan.
Sehingga dengan demikian sempurnalah ajaran Islam dan
tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman:
"Pada hari
ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan nikmat karunia-Ku
dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu." (Q. S. Al Maidah: 5).
C.
Hubungan Fiqih dan Syari'ah
Setelah dijelaskan pengertian fiqih dalam terminologi
mutakhirin yang kemudian populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa
hubungan antar Fiqih dan Syari'ah adalah: Bahwa ada kecocokan antara Fiqih dan
Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas
dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq
disebut 'umumun khususun min wajhin" yakni Fiqih identik dengan Syari'ah
dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar.
Sementara pada sisi yang lain Fiqih lebih luas, karena
pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara
Syari'ah lebih luas dari Fiqih karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang
berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah
umat terdahulu.
1.
Hubungan Antara
Fiqih dan Aqidah Islam
Diantara
keistimewaan fiqih Islam yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang
mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf memiliki keterikatan yang kuat dengan
keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain.Terutama Aqidah
yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan
keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh
dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk
ketaatan dan kerelaan.
Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak
merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah
perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan
hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat
yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya : Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
Contohnya : Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
2.
Fiqih Islam Mencakup
Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala
aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk
memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur.
Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum
yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh
kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka,
maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan
manusia beserta hukum-hukumnya.
Macam – Macam Hukum Fiqih Dalam Kehidupan Sehari – Hari :
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah.
Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan
Fiqih Ibadah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan.
Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya.
Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan
hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan
dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban
pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman
dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang
bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku
kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap
pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al
‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan
negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan
yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku,
yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
3.
Sumber-Sumber Fiqih
Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali
kepada empat sumber yakni:
a.
Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang
terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika
kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada
Kitab Allah guna mencari hukumnya.
b.
As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan atau persetujuan.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila
kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita
merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum
tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi
shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
·
As Sunnah berfungsi
sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti
perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh
karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(Bukhari no.
595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian
hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai
cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
c.
Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari
umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah
bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan
suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan
apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut
sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul
(bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak
(benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’
alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya
Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di
atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan
bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
d.
Qiyas
Qiyas yaitu Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di
dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum
dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas
inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari
suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’. Qiyas
merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Contoh: Allah
mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya
adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan
minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya
dengan haram, \ sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan
pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga
ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
KESIMPULAN
Menurut Bahasa Fiqih Berarti faham atau tahu. Menurut
istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang
berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil
(jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih. Jama’nya adalah
fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqih.
Ketentuan - Ketentuan dalam Fiqih
a.
Menjauhi banyak
tanya dan masalah-masalah pelik.
b.
Menghindarkan
pertikaian dan perpecahan didalam agama.
c.
Mengembalikan
masalah-masalah yang dipertikaikan dengan AlQuran dan rasul.
Sumber-Sumber Fiqih Islam
a.
Al-Qur’an
b.
As-Sunnah
c.
Ijma’
d.
Qiyas
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid. Sulaiman
H, Fiqih Islam. 2002. Bandung : Sinar
Baru Algensindo.
H. Daud.Moh.Ali
SH. 2012. Pengatar Ilmu Hukum Islam dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta Rajawali pers
Hasan, M., Ali Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, Cet. I, 1997
Ismail, Ahmad
satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh
Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003